Rabu, 31 Desember 2008

Tokoh Alternatif Belum Muncul, SBY Tetap Populer

Jakarta - Sudah banyak lembaga survei yang memprediksi popularitas dan peluang sejumlah tokoh calon presiden, termasuk pasangan SBY-JK. Kenapa popularitas SBY lebih tinggi? Karena belum munculnya tokoh alternatif.

"Saya menduga faktor pentingnya karena belum atau tidak adanya tokoh alternatif yang menjanjikan atau meyakinkan bisa membawa ke arah yang lebih baik. Itu yang belum muncul," ungkap pengamat politik LIPI, Syamsuddin Haris, dalam jumpa pers Evaluasi Akhir Tahun Puskaptis dan Prediksi 2009 di Hotel Sahid, Jl Sudirman, Jakarta, Selasa (30/12/2008).

"Kalau pun muncul, akan ada satu pasangan calon yang nongol. Nah, itu belum jelas siapa, tergantung pemilihan legislatif. Mudah-mudahan bisa muncul, kalau tidak Pilpres akan seperti tahun 2004," jelasnya.

Menanggapi hasil survei Puskaptis yang menyebutkan popularitas dan peluang SBY-JK menurun menjadi 19,90 persen dibanding hasil survei bulan Mei, yaitu 29,41 persen, Syamsuddin mengatakan, kalau survei itu valid, tentu hasilnya akan berbeda.

"Memang data ini cukup mengejutkan, karena bulan-bulan terakhir justru kebijakan yang dikeluarkan SBY cukup populis," jelasnya.

Syamsuddin mencontohkan, kebijakan pemerintahan SBY-JK yang menurunkan harga BBM untuk jenis premium dan solar. "Pertanyaannya, survei ini dilakukan sebelum atau
setelah kebijakan itu dikeluarkan? Karena ini menjadi faktor penting bagi
popularitas SBY dalam menghadapi pemilu," ujarnya. ( zal / asy )

sumber:detik

Rabu, 29 Oktober 2008

Dilema capres alternatif

DI tengah hiruk-pikuk survei, konvensi, maupun deklarasi calon presiden (capres), partai sekaliber Golkar belum juga menentukan capres yang akan diusung. Keputusan itu dirumuskan pada saat Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Golkar di Yogyakarta beberapa waktu lalu.

Publik pun bertanya-tanya. Alasannya, Golkar ingin konsentrasi dalam pemenangan pemilihan legislatif (pilleg). Sedangkan misteri siapa yang dijagokan akan disibak pascapemilu legislatif.

Bukan hanya bertanya, kesimpulan spekulatif kerap muncul. Sebagian kalangan berkesimpulan, Golkar sedang dilanda krisis ketokohan dan percaya diri. Lalu, apa yang melatari sikap ketidakpercayaan diri itu? Dan bagaimana sikap politik Golkar seharusnya?

Jebakan survei
Penilaian yang menyebutkan Golkar sedang dirundung krisis ketokohan dan percaya diri kelihatannya ada benarnya. Bisa jadi ketidakpercayaan itu disebabkab oleh rentetan hasil survei yang menunjukkan tokoh- tokoh Golkar kurang mendapat tempat di mata publik terkait siapa yang layak dan pantas menjadi presiden.

Pada konteks ini, survei tak hanya mempengaruhi psikologi calon pemilih atau publik, namun juga pemimpin- pemimpin partai. Sejauh apa pun kecanggihan prosedur dan mekanisme partai dalam menilai kualitas tokoh partai, pada akhirnya juga tersubordinasi oleh hasil survei.

Inilah yang terjadi dengan Golkar saat ini. Padahal, tak ada yang menyangkal bila dikatakan bahwa Golkar memiliki segudang tokoh pintar, gesit, negosiator ulung, intelektual mumpuni, diplomator dan orator, bahkan sang raja Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X juga menjadi bagian dari Golkar.

Kalau memang alasan Golkar berpijak pada hasil survei, itu artinya Golkar separuh kehilangan prinsip dan tidak mampu berdiri di atas kaki sendiri (berdikari). Berdikari dalam arti percaya pada diri sendiri akan potensi yang dimiliki seperti tokohtokoh kompeten, kader berkualitas, dan anggota atau konstituen yang besar dan luas. Oleh karenanya, seyogyanya Golkar memaksimalkan potensi kader, memberdayakan, dan mendorong kemunculan tokoh-tokoh yang dimiliki tanpa harus terjebak pada hasil survei.

Tokoh baru
Apalagi kader yang akan dimunculkan adalah baru dan muda. Kehadiran tokoh-tokoh baru dan muda itu bisa menjadi jalan baru bagi arah perubahan politik bangsa guna melahirkan pemimpin-pemimpin baru dan muda pula. Satu hal yang laik dicatat, kehadiran tokoh-tokoh yang kini berada di papan atas survei adalah tokoh-tokoh lama yang sebelumnya pernah berkuasa dan mengurus negara. Oleh karenanya menghadirkan tokoh-tokoh baru dapat menjadi penyeimbang dominannya tokoh-tokoh wajah baru dalam panggung kekuasaan negeri ini ke depan.

Sayangnya jalan baru dengan menghadirkan tokoh-tokoh baru dalam pilpres mendatang hampir tidak dijadikan agenda oleh banyak partai. Partai-partai yang ada masih bersikap fanatik terhadap tokohtokoh lama.

Di sana ada Megawati Soekarno Putri dari PDIP, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dari Partai Demokrat, Abdurrahman Wahid dari PKB, dan bahkan Amien Rais juga bakal maju dari PAN bila hasil survei tetap mendudukkan SBY sebagai calon tangguh dan terkuat.

Jauh-jauh hari penulis membaca bahwa tak lain dan tak bukan sosok yang bakal diusung oleh Golkar adalah jusuf Kalla. Alasannya sederhana. Sebagaimana lazimnya dalam kultur partai yang ada selama ini, posisi ketua umum memiliki porsi istimewa. Namun kenyataannya tidak demikian. Keputusan Rapimnas di Yogyakarta tidak menunjuk Yusuf Kalla dan pun tak menyebutkan nama-nama final untuk capres/ cawapres.

Lagi-lagi, bisa jadi Golkar terjebak pada hasil survei di mana Yusuf Kalla yang nota bene ketua umum kalah populer dengan Sri Sultan Hamengkubuwono X. Pertanyaanya, mengapa Golkar tidak mencalonkan Sultan HB sebagai capres? Kelihatannya, dukungan moral mulai deras membanjiri publik terkait pencalonan Sultan HB. Jusuf Kalla sendiri bahkan secara moral mempersilakan dengan segala hormat kepada Sultan HB bila ingin maju (capres).

Terlepas dari siapa yang akan dijagokan Golkar dalam pencalonan presiden, yang jelas jalan baru politik negeri ini harus dibuka. Dindingdinding yang merepresentasikan kekolotan, terbelakang, dan konvensional yang berdampak pada stagnasi, dan menghambat dinamika bangsa harus mampu diterobos.

Tentunya, seruan ini tak hanya ditujukan kepada Golkar semata namun kepada partai-partai lainnya. Jalan baru itu adalah berani menampilkan tokoh-tokoh baru yang bersih, muda, berwawasan luas, berani, independent, dan kredibel.

Akankah Golkar dan partai-partai lainnya mampu dan berani menampilkan tokoh-tokoh alternatif di luar tokoh lama dan tidak saling berperang dengan menghadap-hadapkan tokoh lama yang satu dengan tokoh lama lainnya?

sumber: Agung Suseno Seto