Jumat, 20 Februari 2009

Kekuatan Media dan Agenda Pilpres

Dahlan Iskan, yang baru terpilih sebagai Ketua Umum Serikat Penerbit Suratkabar (termasuk majalah) menulis panjang lebar tentang kenapa konglomerat masuk ke pers di Indonesia, padahal di luar negeri, harian tersohor malah gulung tikar, merugi digebuk media internet.

Diskusi Hari Pers Nasional tentang pers perjuangan dan atau pers bisnis serta pers yang mengutamakan kepentingan nasional menghangat kembali. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengutip sikap Confucius mengenai relativisme kebenaran "kecil" vs kebenaran "besar". Saya sudah beberapa kali mendengar uraian dari Ketua Umum Matakin Budi Tanuwijaya. Confucius lebih mengacu pada kebenaran "besar" dan mengorbankan kebenaran "kecil". Walaupun yang disebut kecil itu justru kebenaran riil, karena sekadar merupakan rumus matematika elementer 8 x 3 = 24. Sementara murid terdungu yang ngotot bahwa 8 x 3 = 23, dibenarkan oleh Confucius, karena mempertaruhkan kepalanya kepada murid pintar. Sang murid pintar hanya bersedia membuang topi (simbol kepakaran) jika yang dibenarkan oleh Confucius adalah si dungu. Ternyata Confucius membenarkan yang dungu, sehingga si pintar kecewa, kabur, dan kembali penasaran. Confucius menjawab, jika ia membenarkan si pintar, maka si dungu akan kehilangan kepalanya. Jadi, untuk melindungi kepala si dungu, terpaksa Confucius membenarkan ketololan 8 x 3 =23.

Presiden Yudhoyono kemudian mengutip dilema Kumbokarno vs Wibisono. Yang satu memihak Alengka atas prinsip right or wrong my country sedang yang lain menyeberang ke Sri Rama berprinsip right or wrong is right or wrong. SBY minta supaya pers tidak terlalu mempertentangkan dikotomi tersebut, melainkan berupaya supaya negara jangan sampai salah dan keliru, sehingga tidak perlu membuat pilihan dikotomis dan dilematis seperti Kumbokarno vs Wibisono.

Dalam kasus Aulia Pohan, SBY menjadi Wibisono yang tidak peduli kerabat, besan kalau menurut hukum harus diproses, ya, tidak bisa dikecualikan. Tapi, kalau ditelusuri terus kenapa terhadap Agus Condro, yang mengaku melakukan transaksi deal money politics, tidak ada follow up dari KPK, maka tampak sekali relativisme membiarkan kasus ini untuk melindungi kebenaran "yang lebih besar"

Jenderal Prabowo, sekarang, asyik keliling kota menemui massa INTI (Perhimpunan Indonesia Tionghoa) dengan penyesalan atas tragedi Mei dan membela diri bahwa ia difitnah atas penjarahan itu. Gerindra dan Prabowo juga memasang iklan Kong Hee Fat Choy untuk menjaring pemilih kelompok Tionghoa. Dari milis warga Indonesia di AS juga terpetik berita bahwa Prabowo ingin keliling AS, menjelaskan kepada mereka yang meninggalkan Indonesia, karena korban penjarahan Mei 1998 tentang apa yang telah diupayakan olehnya. Salah satu milis menyatakan bahwa hanya Ester Yusuf, se- orang tokoh, yang berani berdebat dengan Fadli Zon di depan TV tentang tragedi Mei 1998. Sebetulnya, lebih mudah memutar kembali semua rekam jejak Prabowo - Fadli Zon dalam pelbagai wawancara TV dan media massa seperti Far Eastern Economy Review dan Asiaweek tentang kecenderungan anti-Tionghoa yang mereka agitasikan menjelang tragedi Mei.1998.

Karena dibuat dalam bentuk media TV dan cetak, maka tidak bisa dihapus semudah orang mengoreksi dan meralat berita di website, yang setiap detik bisa diubah. Sehingga kata-kata yang mungkin menyinggung bisa dikoreksi secara spontan dan tidak lagi ditemukan bukti kecuali kalau sudah sempat dicetak dan dikopi dalam disk komputer.

John McBeth menulis di The Straits Times 14 Februari berjudul Torture victim campaigning for ex enemy. Tentang bagaimana Pius Lustrilanang yang pernah bersaksi di Kongres AS bahwa ia disiksa oleh para penculik Tim Mawar, sekarang telah menjadi jurkam tim sukses Prabowo.


Isu ABS

Kembalinya para jenderal aktif Orde Baru inilah yang menimbulkan isu ABS, sebab walaupun sudah purnawirawan dan mantan jenderal, mereka masih bisa mempengaruhi kalangan militer, apalagi jika money politics berperan dalam mempengaruhi sikap siapa saja, tidak terkecuali militer. Di AS dan Israel, militer boleh dan berhak memilih dan bisa menambah dan mengurangi perolehan suara incumbent serta oposisi. Di Indonesia, karena dulu berdwifungsi, maka tentara dan polisi dicabut dan tidak mempergunakan hak pilih. Secara matematik barangkali jumlah voting militer dan polisi kurang dari 1 juta suara, jadi tidak terlalu besar dibanding 100 juta pemilih. Barangkali matematika politik suara militer ini mengikuti hukum dungu vs pintar ala Confucius. Jadi, walaupun hanya kurang dari 1 juta, suara itu lebih baik dimandulkan, tidak boleh ikut pemilu entah apa masih berlaku pada 2014.

Minggu ini, Menlu Hillary Clinton akan bertemu dengan Presiden Yudhoyono. Sinyal apa yang akan diberikan Hillary atas nama Obama? Dalam pidato di depan Asia Society 13 Februari, Menlu Hillary menyatakan akan mensinergikan smart power diplomasi Obama dengan falsafah harmoni dari Asia Timur. Dapatkah Indonesia mengkapitalisasikan diplomasi smart power Obama dengan realita posisi RI sebagai jangkar ASEAN? Masalah ini tentu memerlukan chemistry yang saling mempercayai, saling memerlukan, saling menguntungkan, dan saling bergantung satu sama lain. Jika satu pihak dirugikan dan tidak memperoleh apa-apa, maka hubungan pasti akan hambar, cemplang, tidak harmonis, serta tidak optimal.

Kita tidak tahu berapa besar kerugian badan hukum perusahaan ataupun perorangan warga negara Indonesia yang terbenam dalam lumpur derivatives. Jika estimasi harian Kontan bahwa sedikitnya US$ 60-70 miliar dana lembaga keuangan dan perorangan Indonesia kejeblos lumpur derivatives, maka ini cukup serius sebab nilainya melebihi seluruh cadangan devisa RI.

Menteri Mentor Singapura Lee Kuan Yew merelakan menantunya melepaskan jabatan CEO Temasek, karena dinilai bertanggung jawab atas kerugian yang mencapai S$ 58 miliar. Di sini berlaku right or wrong is right or wrong. Sekalipun menantu, kalau terbukti memang salah, meskipun lebih tepat, sial karena investasinya kecemplung di lumpur derivatives, maka Ho Ching, istri PM Lee Hsien Loong, terpaksa harus pensiun dari posisi CEO Temasek.

Di Indonesia, untuk pertama kali seorang wanita profesional menduduki kursi Dirut Pertamina, Karen Agustiawan secara mengejutkan menggusur para "lu lagi lu lagi". Karena itu, wacana duet SBY-Ani (Sri Mulyani Indrawati), sekarang ini, merupakan salah satu alternatif yang masih dianggap nyentrik, tapi bukan mustahil bisa terjadi di tengah relativisme nilai berpolitik, di mana moral dan etika, harus diukur dengan besaran model kasus dungu-pintar Confucius atau Kumbokarno - Wibisono.

Agenda manusia kadang-kadang tidak ditentukan oleh birokrat atau diplomat, melainkan oleh "nasib" yang menimpa manusia secara tidak terprogram oleh sekretaris. Termasuk agenda Wapres, yang harus balik dari Amsterdam ke Mayo Clinic, untuk operasi tumor di bagian otak. Syukur pada zaman modern ini dalam tempo 2 x 24 jam operasi selesai dan bisa pulang. Keberhasilan operasi tentu tidak main-main, tapi jelas memerlukan presisi keterampilan kedokteran dan ahli bedah yang prima dan detail.

Penulis adalah pengamat masalah nasional dan internasional

sumber;suarapembaharuan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar